Filsafat Ilmu (Etika Dalam Pengetahuan )
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu berupaya mengungkapkan realitas
sebagaimana adanya, sedangkan moral pada dasarnya adalah petunjuk tentang apa
yang seharusnya dilakukan manusia. Hasil-hasil kegiatan keilmuan memberikan
alternatif untuk memberikan keputusan politik dengan berkiblat pada
pertimbangan moral. Ilmiuan memiliki tanggung jawab profesional, khususnya di
dunia ilmu dan dalam masyarakat ilmuan itu sendiri serta mengenai metodologi
yang dipakainya. Ilmuan juga memikul tanggung jawab sosial yang bisa dibedakan
atas tanggung jawab legal yang formal sifatnya, dan tanggung jawab moral yang
lebih luas cakupannya.
Agar mendapatkan pengertian yang jelas
mengenai kaitan antara ilmu dan moral, maka kajiannya harus didekati dari
ketiga komponen tiang penyangga tubuh pengetahuan, yakni ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Namun sebelum sampai pada ketiga pendekatan
tersebut, dibahas dahulu mengenai etika, moral, norma, dan kesusilaan, kemudian
pengertian dan ciri-ciri ilmu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud etika,moral, norma dan kesusilaan?
2. Bagaimana problema etika ilmu pengetahuan?
3. Apakah ilmu bebas nilai atau tidak bebas nilai?
4. Apa yang dimaksud pendekatan ontologis?
5. Apa yang dimaksud pendekatan epistemologi?
6. Apa yang dimaksud pendekatan Aksiologi?
7. Apa saja sikap ilmiah yang dimiliki ilmuan?
C. Tujuan
Untuk mengetahui secara mendetail mengenai Etika Keilmuan
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Antara Etika, Moral, Norma dan
Kesusilaan
1. Etika
1. Etika
Etika secara etimologi berasal dari kata
yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika
adalah cabang filsafat yang mebicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam
hubungannya dengan baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap
manusia yaang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata,
dan sebagainya. Adapun motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang
dikerjakan dengan kesadaran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang
dikerjakan dengan tidak sadar tidak dapat dinilai baik buruk.
Menurut Sunoto (1982) etika dapat dibagi
menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif hanya melukiskan,
menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak
mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika. Adapun etika
normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus di
kerjakan dan yang tidak. Etika normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan
etika khusus. Etika umum membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai,
motifasi suatu perbuatan, suara hati dan sebagainya. Etika khusus adalah
prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan
sebagainya.
2. Moral.
Moral berasal dari kata latin mos
jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya,
tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau
moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai
untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
Frans Magnis Suseno (1987) membedakan
ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khotbah,
peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan
bertindak agar ia menjadi manusia yang yang baik. Sumber langsung ajaran moral
adalah berbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan
guru, para pemuka masyarakat, dan agama dan tulisan para bijak. Etika bukan
sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan
sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama.
Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral.
Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap
yang bertanggung jawab berhadapan dengangan berbagai ajaran moral.
3. Norma.
Norma adalah alat tukang kayu dan tukang
batu yang berupa segitiga. Kemudian norma berarti sebuah ukuran. Pada
perkembangannya norma diartikan garis pengarah atau suatu peraturan. Misalnya
dalam suatu masyarakat pasti berlaku norma umum, yaitu norma sopan santun,
norma hukum, dan norma moral.
4. Kesusilaan.
Leibniz seorang filsuf pada zaman Modern
berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil suatu “menjadi” yang terjadi didalam
jiwa. Perkembangan dari nafsu alamiah yang gelap sampai pada kehendak yang
sadar, yang berarti sampai pada kesadaran kesusilaan yang telah tumbuh lengkap,
disebabkan oleh aktifitas jiwa sendiri. Segala perbuatan kehendak kita sejak
semula telah ada. Apa yang benar-benar kita kehendaki telah terkandung sebagai
benih di dalam nafsu alamiah yang gelap. Oleh karena itu, tugas kesusilaan pertama ialah
meningkatkan perkembangan itu dalam diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya
berkaitan dengan batin kita. Akibat pandangan itu orang hanya dapat berbicara
tentang kehendak yang baik dan jahat. Kehendak baik ialah jika perbuatan
kehendak mewujudkan suatu bagian dari perkembangan yang sesuai dengan gagasan
yang jelas dan aktual. Kehendak jahat ialah jika perbuatan kehendak diikat oleh
gagasan yang tidak jelas.
Menurut filsuf Herbert Spencer,
pengertian kesusilaan dapat berubah, di antara bangsa berbagai pengertian
kesusilaan sama sekali berbeda-beda. Pada saman negara militer, kebajikan
keprajuritanlah yang dihormati, sedang pada saman negara industri hal itu
dianggapp hina. Hal ini disebabkan oleh kemakmuran yang dialami pada saman
industri bukan didasarkan atas perampasan dan penaklukan, melainkan atas
kekuatan berproduksi.
B. Problem Etika Ilmu Pengetahuan
Penerapan dari ilmu pengetahuan dan
teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan kadang-kadang
mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan
teknologi. Tanggung jawab etis, merupakan sesutu yang menyangkut kegitan maupun
penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan kodrat
manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab
pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal,
karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan
dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi
manusia.
Tanggung jawab ilmu pengetahuan dan
teknologi menyangkut juga tanggung jawab terhadap hal-hal yang akan dan telah
diakibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa-masa lalu, sekarang maupun
apa akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan bebas manusia dalam
kegitannya. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan teknologi terbukti
ada yang dapat mengubah sesuatu aturan baik alam maupun manusia. Hal ini tentu
saja menuntup tanggung jawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkannya
dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang terbaik bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri maupun bagi
perkembangan eksistensi manusia secara utuh.
Tanggung jawab etis tidak hanya
menyangkut mengupayakan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat
dalam kehidupaan manusia. Akan tetapi, harus menyadari juga apa yang seharusnya
dikerjakan atau tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat
manusia yang seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai pribadi , dalam
hubungan dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab
terhadap khaliknya. Jadi sesuai dengan pendapat Van Meslen (1985) bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghambat ataupun
meningkkatkan keberadaan manusia tergantung pada manusianya itu sendiri, karena
ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan
manusia dalam kebudayaannya.
Kemajuan di bidang teknologi memerlukan
kedewasaan manusia dalam arti sesungguhnya, yakni kedewasaan untuk mengerti
mana yang layak dan yang tidak layak, yang buruk dann yang baik. Tugas
terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menyediakan bantuan agar
manusia dapat bersungguh-sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana untuk mengembangkan diri
manusia saja, tetapi juga merupakan hasil perkembangan dan kreativitas manusia
itu sendiri.
C.
Ilmu Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai
Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi
sejak Rene Descartes dengan sikap skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu,
kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu (cogito ergo sum). Sikap ini berlanjut
pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapaii
pemahaman nasional tentang dirinya dan alam. Persoalannya adlah ilmu-ilmu itu
berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas
nilai yang dimaksudkan sebagaimana Josep Situmorang (1996) menyatakan bahwa
bebas nilai, artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan
pada hakikat ilmu pengetahuuan itu sendiri.
Paling tidak ada tiga faktor sebagai
indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai beriikut:
1.
Ilmu harus bebas dari
berbagai pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor
politis, idiologi, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya.
2.
Perlunya kebebeasan
usaha ilmiah agar otonomi illmu pengetahuan terjamin kebebasan itu menyangkut
kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
3.
Penelitian ilmiah
tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan
ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa
ilmu sosial harus bebas nilai , tetapi ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai
relevan. Weber tidak yakin katika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya
seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial mereka tidak
terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak bias. Nilai-nilai itu harus
diimplikasikan oleh bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu
mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan
segelintir orang budaya , maka ilmuan sosial tidak beralasan mengajarkan atau
menulis itu semua. Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai
hubungan objektivitas ilmiah.
Kehati-hatian Weber dalam memutuskan
apakah ilmu bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu pihak
objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedang dipihak lain subjek
yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan
pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. Tokoh lain Habermas
sebagaiman yang ditulis oleh Rizal Mustansyir dan misnal munir (2001)
berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian
ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau objek alam
diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Fakta atau
objek ini sebenarnya sudah tersusun secara spontan dan primordial dalam
pengallaman sehari-hari, dalam Lebenswelt atau dunia sebagaimana dihayati. Setiap ilmu pengetahuan
mengambil dari Lebenswelt sejumlah fakta yang kemudian diilmiahkan berdasarkan
kepentingan praktis.
Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa
ilmu pengetahuan alam terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu
pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya tidak lepas sama sekali dari
kepentingan praktis. Ilmu sejarah dan hermeneutika juga ditentukan oleh
kepentingan praktis kendati dengan cara yang berbeda. Kepentingannya adalah
memelihara serta memperluas bidang alaing pengertian antar manusia dan
perbaikan komunikasi. Setiap kegiatan teoretis yang melibatkan pola
subjek-subjek selalu mengandung kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja
pada tiga bidang, yaitu pekerjaan, bahasa, otoritas. Pekerjaan merupakan
kepentingan ilmu pengetahuan alam, bahasa merupakan kepentingan ilmu sejarah
dan harmeneutika, sedang otoritas merupakan kepentingan ilmu sosial.
D.
Pendekatan Ontologis
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang hakekat yang ada. Dalam kaitan
dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek apa yang telaah
ilmu, Bagaimana wujud yang
hakiki dari objek tersebut, bagaimana hubungan antara objek tadi
dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang
membuahkan pengetahuan.
Secara ontologi ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada
daerah–daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penalaahan
yang berada dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman diserahkan ilmu
kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari
sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologis
tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini
adalah konsisten dengan asas epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya
verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang
bersifat benar secara ilmiah. Dalam kaitannya dengan kaidah moral bahwa dalam
menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang
bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri
permasalahan kehidupan. Di samping itu, secara ontologis ilmu bersifat netral
terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas
sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam sebagaimana adanya.
E.
Pendekatan Epistimologis
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal,
sumber, metode, struktur, dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam
kaitan dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan bagaimana proses yang
memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu, Bagaimana prosedurnya, Hal-hal apa yang
harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar, Apa yang disebut
kebenaran itu sendiri, Apa kriterianya, Cara atau teknik atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu.
Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode
ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memeroleh dan menyusun
tubuh pengetahuannya berdasarkan:
1. kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat
konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun,
2. menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran
tersebut,
3. melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran
pernyataannya secara faktual.
Kerangka pemikiran yang logis adalah
argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap
fenomena alam. Verifikasi secara empiris berarti evaluasi secara objektif dari
suatu pernyataan hipotesis terhadap pernyataan faktual. Verifikasi ini berarti
bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain selain yang terkandung dalam hipotesis.
Demikian juga verifikasi faktual membuka diri terhadap kritik terhadap kerangka
pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan
terhadap kebenaran baru mempunyai sifat pragmatis yang prosesnya secara
berulang (siklus) berdasarkan cara berpikir kritis.
F.
Pendekatan Aksiologis
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara
umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang
berupa ilmu itu dipergunakan, Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral, Bagaimana penentuan
objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral, Bagaimana kaitan
antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma-norma moral atau profesional.
Pada`dasarnya ilmu harus digunakan
dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini ilmu dapat
dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia
dengan memerhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau
keseimbangan alam. Untuk kepentingan manusia tersebut, pengetahuan
ilmiah yang diperoleh dan disusun secara komunal dan universal.
G.
Sikap Ilmiah yang Harus Di miliki Ilmuan.
Para ilmuan sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuan sudah
barang tentu mereka juga perlu memiliki visi moral, yaitu moral khusus sebagai
ilmuan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai sikap ilmiah.
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuan. Hal ini disebabkan oleh sikap
ilmiah yang merupakan suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan
ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuan bukanlah membahas
tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu
yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial
untuk melestarikan keseimbangan alam semesta ini, serta dapat
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Artinya, kehendak manusia selaras dengan
kehendak Tuhan. Sikap ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuan menurut Abbas
Hamami M., sebagai berikut:
1. Tidak adanya rasa pamrih (disinterstedness).
2. Bersikap selektif.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap
alat-alat indra serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (believe) dan dengan
merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah
mencapai kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuan harus selalu tidak puas
terhadap penelitian yang telah dilakukan.
6. Seorang ilmuan harus memiliki sikap etis. Yang perlu diperhatikan bagi para
ilmuan khususnya di Indonesia adalah sebagaimana tertuang dalam ketetapan MPR
RI nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, khususnya etika
keilmuan dijelaskan bahwa etika keilmuan dimaksudkan untuk menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu
menjaga harkat dan martabatnya, berpihak pada kebenaran untuk mencapai
kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.
Secara terminologi
etika adalah cabang filsafat yang mebicarakan tingkah laku atauperbuatanmanusia
dalam hubungannya dengan baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap
manusia yaang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata,
dan sebagainya.
2.
Moral dan atau
moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai
untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
3.
Norma adalah alat
tukang kayu dan tukang batu yang berupa segitiga. Kemudian norma berarti sebuah
ukuran. Pada perkembangannya norma diartikan garis pengarah atau suatu
peraturan.
4.
Tugas kesusilaan
pertama ialah meningkatkan perkembangan itu dalam diri manusia sendiri.
Kesusilaan hanya berkaitan dengan batin kita.
5.
Tanggung jawab ilmu
pengetahuan dan teknologi menyangkut juga tanggung jawab terhadap hal-hal yang
akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa-masa lalu,
sekarang maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan bebas manusia
dalam kegitannya.
DAFTAR PUSTAKA
Suhartono, Suparlan. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media Surajiyo. 2008. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:
Bumi Aksara Syafiie, Inu Kencana. 2010. Pengantar Filsafat. Bandung:
Komentar
Posting Komentar