STUDI ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH ANTARA HISTORY DAN ORIENTASI
Berikut ini kami cantumkan makalah dan hasil diskusi FKI-FUQAHA yang ke II (25 Semtember 2013) yang diselenggarakan di Kampus Universitas Darul 'Ulum As Syar'iyyah Hudaedah, Yaman.
STUDI ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH
ANTARA HISTORY DAN ORIENTASI
H. M. FATHULLAH AL-ZARKASYI
STUDI ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH
ANTARA HISTORY DAN ORIENTASI
Oleh: H. M. Fathullah Al-Zarkasyi
KATA PENGANTAR
Salam Perjuangan.
Sebagai Mahasiswa Islam yang hidup dalam fase sangat jauh dari masa pembentukan, perkembangan dan keemasan Syari’at Islam, maka tanggung jawab yang tertulis dalam dua konsep:
معرفة الأحكام الشرعية التي طريقها الإجتهاد
الأدلة التي يبنى عليها الفقه الأحكام
harus terus dilestarikan guna menjaga sirkulasi (perputaran) perjalanan syari’at dalam level Ilmi (ilmu pengetahuan) dan Tathbiqi (segi penerapan).
Di level Ilmi, terjadi pluralisme (beraneka ragam) problem ummat terkait dengan kompleknya kemajuan zaman. Inilah yang melatar belakangi lahirnya persoalan–perso alan di tengah masyarakat yang tidak dikenal oleh literatur Islam tempo dulu.
Dari titik simpul inilah, para Ulama merumuskan sebuah disiplin Ilmu, guna menjawab tantangan ummat yang tidak dikenal dalam Islam. Seperti apakah dan dalam wajah yang bagaimanakah ilmu tersebut. Inilah makalah yang saya persembahkan untuk teman–teman Forum Kajian Ilmiah - Fiqh, Ushul Fiqh dan Qawa’id Fiqhiyyah (FKI-FUQAHA) untuk dikaji dan dipelajari bersama.
BAB I
PENDAHULUAN
Sebelum kita memasuki halaman Qawa’id Fiqhiyah, maka dalam karya sastra Ulama Islam kita diperkenalkan dengan konsep Mabadi’ Al-‘Asyarah. Syaikh Al-Lahjy (1344-1410 H.) menyatakan, ”Menjadi sebuah keharusan bagi setiap penuntut ilmu memahami Mabadi’ Al-‘Asyarah dalam disiplin Ilmu apapun, supaya memiliki gambaran tentang ilmu tersebut secara sempurna”. Guna mempercepat dalam memahami ilmu yang akan di pelajari, dan gambaran sempurna, akan kita dapatkan dengan memahami Mabadi’ Al-‘Asyarah dari setiap Ilmu .
Konsep inilah yang selalu mengawali setiap karya Ulama besar dalam Islam. Sayyid Muhammad Bin ‘Alwi Al-Maliki dalam kitab Zubdah Al-Itqhan Fi ‘Ulum Al-Qur an mengawali karya beliau dengan konsep Mabadi’ Al-‘Asyarah. Konsep ini terlihat kembali ketika kita menelusuri kitab Idhah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah karya seorang Ulama besar Al-‘Alim Al-‘Allamah As-Syaikh Abdullah Bin Sa’id Al-Lahjy.
Maka tidak terlalu berlebihan, jika kemudian saya mengawali makalah ini dengan konsep Mabadi’ Al-‘Asyarah atau sepuluh perangkat dasar untuk mengenal setiap disiplin Ilmu, guna memudahkan kita memahami Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Sepuluh perangkat dasar tersebut adalah :
1. Definisi Ilmu Qawa’id Al-Fiqhiyyah
Dalam kitab Idhah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah di jelaskan bahwa, Qawa’id Al-Fiqhiyyah adalah sebuah disiplin Ilmu yang mengandung tentang prinsip dasar untuk mengetahui status hukum dari beberapa kejadian yang tidak ada dalam body (isi) teks Al-Qur’an, Al-Hadits dan Al-Ijma’. Kitab I’anah Al-Ashhab menawarkan sebuah definisi yang tidak jauh berbeda dengan kitab Idhah, perbedaannya hanya pada penggunaan Lafadz Qanun dan Qawa’id .
2. Pembahasan Dalam Qawa’id Al-Fiqhiyyah
Dalam ilmu ini terdapat dua pembahasan :
• Qa’idah–Qa’idah
• Tentang Hukum Fiqh terkait dengan proses pengeluarannya dari Qa’idah–Qa’idah yang ada.
3. Faedah Mempelajari Qawa’id Al-Fiqhiyyah
Adapun Faedah mempelajari Ilmu Qawa’id ini adalah:
• Mempermudah kita dalam menemukan solusi hukum terhadap sejumlah persoalan yang sifatnya kekinian dan tidak ada nashnya.
• Dengan kita memahami dan menghafal Qawa’id fiqhiyyah memungkinkan kita untuk mencakup ribuan cabang persoalan Fiqh dalam waktu sesingkat mungkin.
• Memahami Qawa’id merupakan metode termudah untuk mengumpulkan cabang permasalahan Fiqh dan menjauhkan kita dari kebingungan.
4. Keutamaan Ilmu Qawa’id Al-Fiqhiyyah
Ilmu Qawa’id Al-Fiqhiyyah merupakan ilmu yang paling mulia setelah Ilmu Tauhid, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
"من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين"
Artinya: Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik, maka Allah Faqihkan dia terhadap agama.
Syaikh Al-Lahjy menawarkan kepada kita terkait interpretasi (penafsiran) Tafaqquh Fi al-Din. Bagi beliau, cita–cita hadits diatas adalah melahirkan muslim dan muslimah yang memahami berbagai cabang persoalan Fiqh dengan menggunakan konsep dan kaidah-kaidah yang telah dirumuskan para Pakar Hukum Islam. Untuk memahami cabang– cabang permasalahan Fiqh dari sejak kenabian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sampai hari ini, merupakan hal yang sangat sulit. Karena, Fiqh merupakan Ilmu yang selalu berpelukan dengan kondisi dan situasi Ummat. Perubahan zaman yang menyebabkan cabang– cabang persoalan Fiqh semakin berkembang dan luas. Oleh karena itu, Syaikh Al-Lahjy menegaskan bahwa hadits tersebut menuntut kita untuk memahami sebagian dari cabang persoalan Fiqh dengan berlandaskan Kaidah– kaidah yang ada.
5. Keterkaitannya Dengan Ilmu Lain
Ilmu ini merupakan bagian dari Ilmu Fiqh. Sedangkan dalam Ilmu Tauhid dia merupakan cabang, dan merupakan penjelas bagi setiap cabang ilmu-ilmu syari’at.
6. Pengarangnya
Para Ulama yang sangat ‘alim dalam cabang-cabang permasalahan Fiqh. Sampai kemudian muncul tokoh dari Madzhab Hanafi yang bernama Abu Thahir Al-Dibasi. Beliaulah yang dicatat sejarah sebagai penggagas Ilmu ini.
7. Nama
Ilmu ini mempunyai nama Ilmu Qawa’id Al-Fiqhiyyah dan ‘Ilmu Al-Asybah Wa Al-Nadzair.
8. Dasar Pengambilan
Dasar pengambilan Ilmu ini adalah Al-Qur an, Al-Hadits, Atsar al-Shahaabah dan Qaul-qaul para Mujtahid.
9. Hukum Mempelajarinya
Hukum mempelajarinya adalah Fardhu Kifayah, sedangkan untuk para Qadhi, hukum mempelajari ilmu ini adalah Fardhu ‘Ain.
10. Persoalan yang dibahas dalam Ilmu ini
Tentang kaidah-kaidah yang membahas masalah cabang-cabang dalam Ilmu Fiqh .
BAB II
SEJARAH PERJALANAN
ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH
Qawa’id Fiqhiyyah memiliki kesamaan fungsi dengan undang – undang, sebagai perangkat untuk merumuskan status hukum terhadap sebuah persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Namun, jika kita membedah sejarah perjalanan ilmu ini, maka kita akan menemukan titik perbedaan antara undang-undang dengan Qawa’id Fiqhiyyah. Jika body (isi) teks undang–undang dalam sebuah negara terbentuk dalam waktu yang sudah ditentukan dan oleh orang-orang yang sudah ditentukan negara, maka berbeda halnya dengan Qawa’id Fiqhiyyah ini, terbentuk secara bertahap dan dalam waktu yang sangat panjang dengan melibatkan berbagai tokoh–tokoh agama dari berbagai Madzhab yang ada kala itu . Proses terbentuknya Ilmu ini juga melibatkan Al-Qur an, Al-Hadits, Atsar Al-Shahaabah dan Qaul-Qaul Para Mujtahid sebagai landasan hukum terhadap tiap Qa’idah yang ada.
Membaca coretan diatas, titik perbedaan antara undang–undang dengan Qawa’id Fiqhiyyah terjadi di level sejarah. Sehingga membahas sejarah terbentuknya Ilmu ini, menjadi primer (pokok) dan urgen (penting). Konsep abad akan kita gunakan untuk membedah sejarah dan pergerakan Qawa’id Fiqhiyyah ini.
A. Abad Ketiga Hijriyah
Pada abad inilah konsep Qawa’id Fiqhiyyah mulai terdengar dalam khazanah pemikiran Islam kala itu. Pergerakan terciptanya ilmu ini berawal dari sebuah kisah, seperti yang diceritakan Imam Jalaluddin Al-Suyuthi Rahimahullah : seorang tokoh di lingkungan Madzhab Syafi’i yang bernama Al-Qadhi Abu Sa’id Al-Harawy bercerita, bahwa beberapa Ulama Hanafi yang berdomisili (bertempat tinggal) di sebuah tempat bernama Harah memberitahukann ya, bahwa Imam Abu Thahir Al-Dibasi, beliau merupakan seorang Imam dari Madzhab Hanafi. Beliaulah tokoh yang mengumpulkan semua Madzhab Hanafi ke dalam tujuh belas kaidah. Imam Abu Thahir seorang yang buta dan beliau selalu mengulang kaidah-kaidah tersebut setiap malam di masjidnya, setelah semua orang di dalam masjid keluar.
Pada suatu malam, Al-Qadhi Abu Sa’id Al-Harawy ingin mendengar kaidah – kaidah tersebut. Ketika semua orang keluar dari Masjid, Al-Qadhi Abu Sa’id Al-Harawy langsung menyelimuti diri beliau supaya tidak diketahui oleh Abu Thahir Al-Dibasi. Selama di dalam Masjid, beliau mampu meriwayatkan tujuh kaidah. Tapi, ketika sampai pada Kaidah ketujuh, Abu Sa’id batuk dan Abu Thahir langsung mengetahui dan memukulinya serta mengeluarkannya dari Masjid. Setelah kejadian ini, Abu Thahir Al-Dibasi tidak pernah mengulangi kaidahnya lagi. Kemudian Al-Qadhi Abu Sa’id kembali kesahabatnya dan menceritakan tujuh kaidah tersebut.
Kisah inilah yang mengawali pergerakan dan perkembangan Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah dikalangan para pengikut Madzhab Syafi’i dan kisah ini pulalah yang menjadi titik awal Imam Abu Thahir Al-Dibasi dideklarasikan sebagai peletak batu pertama cita-cita dan konsep Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah.
Syaikh Yasin Bin Isa Al-Fadany menyatakan : bahwa metode Kodifikasi (pembentukan) Qawa’id Al-Fiqhiyyah dengan dua pola:
1. Metode pertama yaitu dengan menciptakan kaidah–kaidah yang telah ditentukan Mujtahid dalam proses pengambilan hukum dari sumbernya yaitu: Al-Qur’an, Al-Hadits, Al-Ijma’ dan Al-Qias. Konsep ini dikenal dengan nama Ushul Fiqh dan orang yang pertama kali meletakkan Ilmu ini adalah Imam Syafi’i dengan karangannya yang bernama Al-Risalah.
2. Metode kedua yaitu dengan mengeluarkan kaidah-kaidah Fiqhiyyah yang bersifat universal dari tiap-tiap bab dari Ilmu Fiqh. Syaikh Yasin Bin Isa Al-Fadany mengklaim bahwa tokoh yang pertama kali melakukan penelitian dan kodifikasi dalam Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah adalah Sulthan al-Ulama Izzuddin Bin Abdul Aziz Bin Abdus Salam. Beliau mengembalikan semua permasalahan Fiqh dalam Madzhab Syafi’i ke dalam satu kaidah yaitu:
"إعتبار المصالح ودرء المفاسد"
“Mempertimbangk an kemaslahatan dan menolak kerusakan”
Syaikh Yasin Bin Isa Al-Fadany melandaskan klaim beliau dengan dua karangan Sulthan al-Ulama yaitu Qawa’id Sughra dan Qawa’id Qubra .
Musthafa Ahmad Zurqa menawarkan sebuah kritisi sejarah terkait masalah siapa tokoh yang melakukan kodifikasi Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah. Bagi Musthafa, Imam Abu Thahir Al-Dibasi merupakan penggagas awal lahirnya konsep ilmu ini. Sedangkan tadwinnya, Musthafa menempatkan seorang Tokoh Madzhab Hanafi sebagai orang yang pertama kali melakukan tadwin ilmu ini, beliau bernama Imam Abu Al-Hasan Ubaidillah Bin Husen Al-Kurshi (260-340 H) .
Dari coretan singkat ini, bisa kita simpulkan bahwa abad ke-3 Hijriyah menjadi zaman dimana Ilmu ini mengalami penggagasan, pembentukan dan upaya kodifikasi dalam satu Madzhab maupun lintas Madzhab. Fase ini terus berjalan sampai memasuki abad ke-8 Hijriyah.
B. Abad Ke Delapan Hijriyah
Abad ini menjadi masa keemasan dari Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah. Masa ini ditandai dengan munculnya karya–karya Ulama dari berbagai Madzhab, rata–rata karya mereka dinamai dengan Al-Asybah Wa Al-Nadzair.
Abad ini juga diramaikan dengan munculnya kitab Al-Taj Al-Subki dan kitab Jalal Al-Suyuthi. Dua kitab karangan Ulama Syafi’i ini, menuai apresiasi dari seorang Ulama Madzhab Hanafi yang bernama Ibnu Nujaim. Beliau menyebutkan dalam kitabnya yang bernama Al-Asybah Wa Al-Nadzair. Dalam kitab tersebut beliau menyatakan “Aku ingin membuat seperti kitab Al-Subki Al-Syafi’i.”
BAB III
PERBEDAAN ANTARA QAWA’ID FIQHIYYAH DAN QAWA’ID USHUL FIQH
Untuk memudahkan kita memahami ranah kerja dua ilmu ini, maka pada bab ini kami akan memaparkan empat perbedaan antara dua jenis kaidah, dimana keduanya merupakan bagian dari Ilmu Fiqh.
1) Mayoritas kaidah–kaidah Ushul Fiqh terlahir dari kritisi lafadz–lafadz dalam bahasa Arab. Dengan lafadz inilah para Ulama Mujtahid melakukan penelitian terhadap sejumlah teks–teks agama yang ada. Misalnya :
• Lafadz Amr fungsinya untuk menunjukkan Hukum Wajib.
• Lafadz Nahi menunjukkan hukum Haram.
Berbeda halnya dengan kaidah Qawa’id Fiqhiyyah, merupakan kaidah–kaidah yang terlahir dari beberapa hukum dan sejumlah permasalahan Fiqh. Contohnya kaidah:
"اليقين لايزال بالشك"
“Sesuatu yang yakin tidak dapat dihilangkan oleh keraguan”.
2) Ushul Fiqh merupakan sebuah ilmu yang di khususkan untuk para Ulama yang telah memiliki kapasitas (kemampuan) keilmuan di level Mujtahid Muthlaq. Kaidah-kaidah ini mereka gunakan untuk melakukan pengambilan hukum Fiqh dari nash yang ada. Sedangkan orang–orang di luar Mujtahid, mempelajari Ushul Fiqh hanya sebagai pengetahuan untuk mengetahui bagaimana proses yang dilalui para Imam Madzhab dalam melahirkan Hukum.
Sedangkan Qawa’id Fiqhiyyah, merupakan kaidah yang dibutuhkan oleh semua kalangan. Mulai dari para Mufti, pakar hukum Islam dan para penuntut ilmu sangat membutuhkan kaidah–kaidah Qawa’id Fiqhiyyah. Karena dengan kaidah–kaidah ini, kita tidak terlalu membutuhkan membuka kitab–kitab Fiqh.
3) Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah merupakan ilmu yang terbentuk setelah lahirnya berbagai persoalan dan permasalahan Fiqh dengan cabang-cabangny a yang tersebar dalam berbagai bab-bab Ilmu Fiqh itu sendiri. Karena proses terbentuknya Ilmu ini terjadi setelah lahirnya Fiqh, sangat tepat secara logika dan kenyataan. Karena Ilmu ini muncul dalam rangka menjadi pengikat berbagai persoalan-perso alan Fiqh yang sangat kompleks.
Berbeda ketika kita menelusuri proses terbentuknya Ilmu Ushul Fiqh, secara logika Ushul Fiqh seharusnya dideklarasikan sebelum munculnya persoalan Fiqh dengan cabang-cabangny a, karena Ushul Fiqh merupakan alat para Mujtahid untuk melahirkan hukum. Namun waqi’iyyahnya (kenyataannya) Ushul Fiqh muncul setelah lahirnya Fiqh. Kenyataan ini, sangat berbenturan dengan logika manusia.
4) Kaidah–kaidah Ushul Fiqh merupakan kaidah yang dibawahnya mengandung berbagai dalil yang bersifat universal (umum), yang adengan dalil-dalil inilah kita bisa melakukan pengambilan hukum (Istinbath al-Hukmi). Sedangkan Qawa’id Fiqhiyyah merupakan sebuah ketentuan dan undang-undang yang bersifat universal yang menaungi berbagai macam masalah Fiqh .
BAB IV
TUJUAN DAN POSISI ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH
DALAM DUNIA ISLAM
A. Tujuan Mempelajari Qawa’id Fiqhiyyah
Pada pendahuluan makalah ini, saya sudah memaparkan secara global tentang manfaat kita mempelajari Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah. Maka pada bab ini kita akan membahas beberapa tujuan dengan konteks melengkapi poin-poin yang sudah ada di pendahuluan.
Dalam banyak literatur, para Ulama menjelaskan bahwa tujuan dikibarkannya bendera Qawa’id Fiqhiyyah adalah dalam rangka mempermudah para penuntut Ilmu untuk memahami cabang permasalahan Fiqh yang sudah sangat luas. Muhammad Sa’id Bin Abdurrahman Al-Saranji menyatakan, “Jikalau kaidah–kaidah ini tidak ada, maka cabang–
cabang permasalahan Fiqh menjadi sangat sulit untuk dikumpulkan” .
Dengan Kaidah ini, kita bisa jalan bersama terhadap perubahan zaman yang semakin pesat. Menjadi hal yang tidak bisa ditutupi, bahwa pergerakan zaman telah menempatkan manusia pada titik kemajuan di berbagai bidang, ditambah dengan berkembangnya Islam ke berbagai daerah Non Arab. Kita ketahui, perjalanan Syari’at Islam tidak bisa dilepaskan dengan budaya dan peradaban bangsa Arab. Bahkan titik klimaks dari semua itu adalah legalitas sejumlah budaya yang berkembang dikalangan komunitas Arab kala itu. Lomba memanah, pacuan kuda dan lomba renang merupakan contoh kecil dari banyak budaya bangsa Arab legal dimata syari’at.
Lalu bagaimanakah nasib sejumlah adat istiadat yang ada di bangsa dan masyarakat kita, di mana syari’at dengan literatur yang ada tidak mengenal semua itu. Akankah kita akan memerangi adat istiadat tersebut dengan konsep bid’ah atau kita akan bertepuk tangan sebagai simbolis kebahagiaan kita terhadap budaya – budaya tersebut.
Dari titk inilah, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah menjadi hal yang sangat primer dikalangan mahasiswa Islam, guna menjawab dan memberikan solusi Syari’at terhadap sejumlah permasalahan yang tidak dikenal dalam rumah kita ini.
B. Posisi Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Dunia Islam.
Di pendahuluan, saya sudah menjelaskan bahwa ilmu ini bagian dari Ilmu Fiqh. Terkait tema yang kita bahas, sebuah argument tawaran dari Musthafa Ahmad Zurqa mengenai posisi kaidah–kaidah ini dalam wacana pemikiran Islam. Bagi Musthafa Ahmad Zurqa, keberadaan ilmu ini sebagai kaidah Aghlabiyyah (mayoritas) tidak akan menurunkan harga diri ilmu ini. Karena, dengan kaidah ini para pakar hukum Islam mendapatkan objektifitas (kecenderungan) dalam menyikapi berbagai persoalan Ummat. Dengan kaidah ini, kita mendapatkan gambaran bagaimana menyelesaikan problem Ummat sehingga sesuai dan legal di mata Syari’at.
Dari argument diatas, sejumlah pertanyaan muncul dikalangan para penuntut Ilmu, diantaranya :
Bolehkah kita menggunakan kaidah–kaidah yang ada dalam Ilmu ini sebagai dalil untuk mengeluarkan Hukum ?
Ibnu Nujaim menyatakan : tidak boleh berfatwa dengan hanya menggunakan kaidah- kaidah ini, karena dia hanya bersifat Aghlabiyyah bukan Kulliyyah (keseluruhan). Dalam pada itu, Syaikh Ali Haidar menulis hal yang senada dengan Ibnu Nujaim. Dari ungkapan para Ulama ini, jelaslah bahwa tidak dibenarkan jika kita menentukan suatu hukum terhadap persoalan ummat yang sifatnya kekinian dengan hanya menggunakan Qa’idah Fiqhiyyah saja. Karena kaidah– kaidah ini sangat sarat dengan pengecualian– pengecualian dari sejumlah masalah–masalah yang ada.
Di segi lain, sejumlah Ulama berpendapat, jika kaidah–kaidah terlahir dari dalil asli seperti Hadits Nabi Muhammad Saw., maka dalam konteks seperti ini para Ulama membolehkan kita menentukan hukum dengan hanya menjadikan kaidah sebagai dalil. Seperti kaidah:
"لا ضرر ولا ضرار"
“Tidak ada bahaya dan tidak ada yang membahayakan”
"الخراج بالضمان"
“Hasil itu diimbangi dengan tanggungan.”
Argument (pernyataan) yang cukup kontroversial namun menjadi urgent untuk saat ini adalah apa di lontarkan oleh seorang tokoh dari Firqah Syafi’i, beliau adalah Al-Syihab Ahmad Bin Muhammad Al-Ha’im. Bagi beliau, ketika persoalan ummat hari ini tidak ditemukan dalam nash–nash kitab Fiqh, maka menjadikan kaidah–kaidah dalam Qawa’id Fiqhiyyah untuk menentukan Hukum dan berfatwa menjadi legal dalam payung Syari’at. Pandangan ini, juga di kuatkan oleh seorang tokoh yang di gelari Imam dalam Ilmu Musthalah Al-Hadits, beliau adalah Ibnu Shalah .
BAB V
PEMBAGIAN KAIDAH FIQHIYYAH
Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Asybah wa al-Nadzair membagi Kaidah Fiqhiyyah menjadi tiga:
A. Lima Kaidah - Kaidah Dasar (Qawa’id Kulliyyah Khams)
Imam Subki mendefinisikan kaidah sebagai, sesuatu yang bersifat Kulli (bersifat umum) yang sesuai dengan Juz’iyyah (bagian - bagian) yang banyak, yang melaluinya diketahui hukum – hukum Juziyyah. Menurut Imam Subki, kaidah di bagi menjadi dua bagian yaitu:
Sesuatu yang tidak ditentukan untuk satu bab, contohnya :
"اليقين لايزال بالشك"
“Sesuatu yang yakin tidak dapat dihilangkan oleh keraguan”.
Sesuatu yang ditentukan untuk satu bab. Biasanya bagian kedua ini lebih dikenal dengan istilah Dhabith. Contohnya :
"ليس في أعضاء الطهارة عضوان لا يستحب تقديم الأيمن منهما إلا الأذنين فإنه يستحب مسحهما دفعة واحدة"
“Semua anggota Wudhu yang ganda disunnahkan untuk mengedepankan yang kanan dalam basuhannya, kecuali dua telinga, maka sunnah diusap bersamaan”.
Setelah kita memahami definisi kaidah dan dhabith (aturan), maka dalam Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah dikenal istilah Qawa’id Al-Khams (lima kaidah dasar). Lima kaidah inilah menjadi pusat pembahasan Dunia Fiqh. Karena, semua permasalahan Fiqh yang tersebar dalam ribuan judul kitab Fiqh akan kembali kepada lima kaidah ini. Karena itu, Imam Jalaluddin Bin Abdurrahman Al-Suyuthi mengutip perkataan Al-Qadhi Abu Sa’id : ketika cerita tentang tujuh kaidah sampai kepada Al-Qadhi Husain, maka beliau kemudian mengembalikan semua permasalahan Fiqh Madzhab Syafi’i ke dalam empat Kaidah:
1. Kaidah yang pertama yaitu:
"اليقين لايزال بالشك"
“Sesuatu yang yakin tidak dapat dihilangkan oleh keraguan”.
2. Kaidah yang kedua yaitu:
"المشقة تجلب التيسير"
“Kepayahan itu menarik kemudahan”
3. Kaidah yang ketiga:
"الضرار يزال"
“Kemadharatan itu harus dihilangkan”
4. Kaidah yang keempat:
"العادة محكمة"
“Adat istiadat itu bisa menjadi hukum”
Menurut Suyuthi, para Ulama kemudian menambahkan satu kaidah lagi, yaitu:
"الأمور بمقاصدها"
“Setiap perkara-perkara itu tergantung niatnya”.
B. Kaidah Kulliyyah Aghlabiyyah
Kaidah ini merupakan kaidah yang menampung masalah tanpa bisa dibatasi. Bahkan dalam kitab I’anah Al-Ahshab, masalah yang lahir dari kaidah ini tidak mungkin di batasi sampai selama-lamanya. Kaidah ini berjumlah 40 kaidah, diantaranya:
"إذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرام"
“Ketika berkumpul antara perkara halal dan haram, maka dimenangkan yang haram”
"التابع تابع"
“Pengikut itu harus mengikuti”
C. Kaidah Mukhtalaf Fiha.
Kaidah ini mengandung perbedaan pandangan dikalangan Ulama dan tidak terdapat tarjih didalam perbedaan tersebut. Karena perbedaan ini terjadi pada masalah–masalah yang sifatnya Furu’ (cabang). Kaidah ini berjumlah 20 kaidah, diantaranya:
الجمعة ظهر مقصورة أو صلاة على حيالها ؟ قولان : ويقال وجهان
Shalat Jum’at itu apakah terkategorikan Dzuhur yang diringkas (2 rakaat) atau nama shalat tersendiri? Dalam hal ini ada dua pendapat.
PENUTUP
Akhirnya, kita dapat memahami bahwa Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah merupakan kaidah yang bersifat Umum meliputi sejumlah masalah Fiqh dan melaluinya dapat diketahui hukum masalah Fiqh yang berada dalam lingkupnya. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah yang dirumuskan para Ulama yang tidak langsung terambil dan berdasarkan Nash tidak dapat dipakai sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Namun, dalam kondisi dimana persoalan Ummat tidak dikenal dalam body teks literatur Fiqh, maka disinilah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah menjadi urgent dan legal dimata syari’at. Wallaahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
1. I’anah Al-Ashhab, karya Muhammad Bin Sa’id Bin Abdurrahim Al-Serangi, Maktabah Ust. Qa’id, Hudaidah – Yaman.
2. Syarh Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syaikh Ahmad Bin Syaikh Muhammad Al-Zurqa, Dar Al-Qalam, Damaskus.
3. Idhah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syaikh Abdullah Bin Sa’id Al-Lahjy, Dar Al-Dhiya’
4. Al-Asybah Wa Al-Nadzair, karya Jalaluddin Abdurrahman Al-Suyuthi, Dar Al-Fikr, Beirut-Libanon
5. Al-Luma’, karya Ibrahim Bin Aly Abu Ishaq Al-Syairazy, Muassasah Al-Risalah Nasyirun, Beirut-Libanon.
6. Kamus Kontemporer Arab Indonesia, karya Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlar, Mufti Karya Grafika, Indonesia.
Hudaidah, 23 September 2013
Penulis
H. M. Fathullah Az-Zarkasyi
NB: Tulisan ini dikaji dan dipresentasikan oleh penulis dalam Forum Kajian Ilmiah – Fiqh, Ushul Fiqh dan Qawa’id Fiqhiyyah ( FKI-FUQAHA) pada tanggal 25-September 2013 M.
*************** *
Dibawah ini kami cantumkan beberapa Pertanyaan yang masuk pada kajian diskusi mingguan FKI-FUQAHA (25-09-2013), dengan judul “STUDI ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH, ANTARA HISTORY DAN ORIENTASI.”
1. Apa perbedaan antara Kaidah الأموربمقاصدها" ” dengan al-Hadits إنماالآعمال باالنيات ’’ dan adakah kaitan di antara keduanya?
2. Bagaimana cara mengambil Hukum melalui metode Qawa’id Fiqhiyyah dan apakah tidak dikatakan timbul landasan Hukum baru setelah al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas?
3. Apakah Qawa’id Fiqhiyyah yang terdiri dari 5 Kaidah Dasar, 40 Kaidah Aghlabiyah, dan 20 Mukhtalaf Fiha, telah di tetapkan sebagai kaidah yang sudah paten?
Jawaban:
1. Di dalam kodifikasi Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah terdapat empat hal landasan pengambilan suatu kaidah di dalamnya, yaitu: Al-Qur’an, Al-Hadits, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas. Adapun landasan pembuatan Kaidah “Al-Umuuru Bi Maqaashidihaa” merujuk pada salah satu dari pada empat landasan diatas yaitu al-Hadits.
Al-Hadits “Innamal A’maalu Bin Niyyaat” merupakan asal rujukan pembuatan Kaidah “Al-Umuuru Bi Maqaashidihaa”, disinilah terdapat ikatan antara ke duanya. Perlu di ketahui, bahwa kaidah-kaidah yang ada pada Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah merupakan hasil Ijtihad para Mujtahid di dalam merangkum berbagai banyak persoalan furu’iyyah dan untuk membedakan antara perkataan Rasulullah Saw. dengan perkataan Mujtahid itu sendiri. Lihat kitab I’anah al-Ashhab karya Syaikh Muhammad bin Said As-Saranji hal: 15-16.
2. Telah diterangkan diatas bahwa landasan pengambilan suatu Kaidah Fiqh adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas. Disini, perlu kita ketahui bersama bahwa Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah merupakan Ilmu yang terbentuk setelah lahirnya berbagai persoalan dan permasalahan Fiqh dengan cabang-cabangny a yang tersebar dalam berbagai bab-bab Ilmu Fiqh itu sendiri. Di sisi lain Ilmu ini muncul dalam rangka menjadi pengikat berbagai persoalan Fiqh yang sangat kompleks. Maka dengan munculnya pertanyaan ini, dapat dijawab bahwa Qawa’id Fiqhiyyah tidaklah dikatakan memunculkan sumber hukum baru (Adillah Ahkam Jadidah), karena pada dasarnya ketetapan Qawa’id Fiqhiyyah ini tidak lepas dari landasan empat dalil pokok, Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas.
Dalam Mukaddimah Kitab Al-Fawa’id Al-Janiyyah, Syech Yasin Al-Fadani menjelaskan bahwa terjadi ikhtilaf (perbedaan) pendapat dikalangan ulama akan penggunaan metode Qawa’id al-Fiqhiyyah dalam penggambilan suatu Hukum, seperti yang telah di jelaskan pada makalah diatas. Untuk cara mengambil suatu hukum seseorang haruslah mengetahui kaidah-kaidah yang telah ditentukan Mujtahid dalam proses pengambilan Hukum dari sumbernya yaitu: Al-Qur’an, Al-Hadist, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas, yang dikenal dengan nama Ushul Fiqh, dan kedua mengeluarkan kaidah-kaidah yang universal (umum) dari tiap-tiap bab dari Ilmu Fiqh itu sendiri.
3. Imam Suyuthi Rahimahullaah menyatakan bahwa kaidah-kaidah yang ada pada Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah telah paten, walaupun untuk ke depanya akan terdapat penambahan-pena mbahan yang bermunculan. Artinya, kaidah-kaidah ini memiliki peran yang sangat urgen dalam menyimpulkan hukum-hukum fiqh, meskipun jumlah yang telah ditetapkan oleh para ulama terdahulu mungkin bisa bertambah, mengingat semakain meluasnya analisa dan kajian yang dilakukan oleh ulama-ulama dalam merumuskan suatu hukum, sehingga kaidah-kaidah yang dibutuhkan semakin banyak dan berkembang. Namun perlu di ingat bahwa di dalam kaidah-kaidah ini tidak secara mutlak mencakup semua permasalahan fiqh, akan tetapi terdapat banyak masalah yang dikecualikan…Wa llaahu A’lam.
NB: Jawaban ini sudah ditashhih oleh Pembina FKI-FUQAHA pada tanggal 28 September 2013 Di Jami’ah Darul ‘Ulum As-Syar’iyyah Hudaidah, Yaman.
Editor
NURMANSYAH
Komentar
Posting Komentar