Sindroma Guillain Barre
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sindroma
Guillain Barre adalah penyakit yang menyerang radiks saraf yang bersifat akut
dan yang menyebabkan kelumpuhan yang gejalanya dimulai dari tungkai bagian
bawah dan meluas keatas sampai tubuh dan
otot-otot wajah. Penyakit ini dapat mengancam jiwa yaitu berupa
kelemahan yang dimulai dari anggota gerak distal yang dengan cepat dapat
merambat ke proximal.
Nama
lain dari sindroma Guillaain Barre adalah Poli radikulo neuropati inflamasi
akut atau PIA. Insiden tahunan di Amerika Serikat adalah 1 sampai 2 per
100.000. Penyakit ini tidak dipengaruhi terhadap musim dan tidak endemik dapat
menyerang semua golongan umur terutama pada usia 50-70 tahun, presentasi jumlah
antara pria dan wanita sama.
Penyakit
ini merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan demielinisasi pada akar saraf
tepi. Sampai saat ini penyebab pasti penyakit ini masih dalam perdebatan.
1.2 TUJUAN
1. Tujuan
umum
Dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasein dengan GBS (Guiilian Barre
Syndrome)
2. Tujuan khusus
a. Dapat mengetahui definisi GBS (Guiilian Barre
Syndrome)
b.
Dapat mengetahui etiologi GBS (Guiilian Barre Syndrome)
c. Dapat menjelaskan tanda dan gejala GBS
(Guiilian Barre Syndrome)
d. Dapat
menjelaskan patofisiologi GBS (Guiilian Barre Syndrome)
e. Dapat menjelaskan
penalalaksanaan medis pada kasus GBS
(Guiilian Barre Syndrome)
f. Dapat memberikan asuhan keperawatan pasein dengan GBS (Guiilian Barre Syndrome)
BAB II
KONSEP DASAR
2.1 DEFINISI
Sindrom Guillian-Barre merupakan sindrom klinik yang menyebabkan tidak
diketahui yang menyangkut saraf perifer dan kranial. Paling banyak pasien-pasien
dengan sindrom ini ditimbulkan oleh adnya infeksi.(Imu Peyakit Dalam)
Sindroma Guillain Barre (SGB)
merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang
terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah
saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 )
GBS
(Guillian Barre Syndrome) adalah penyakit akut atau lebih tepat subakut yang
lambat laun menjadi paralitik dengan penyebab yang belum jelas, namun teori
saat ini mulai terarah pada proses imunologik.
GBS (Guillian Barre Syndrome) merupakan
peradangan neuritis demielinasi (disebut juga polineuropati) progresif dan akut
yang mengenai sistem saraf perifer/Gangguan kelemahan neuromuskular akut yang
memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total tetapi
biasanya parolisis sementara.
Guillain Barre Syndrome (GBS) atau yang
dikenal dengan Acute Inflammatory Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau yang
bisa juga disebut sebagai Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy
(AIDP) adalah suatu penyakit pada susunan saraf yang terjadi secara akut dan
menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi, kadang-kadang mengenai
saraf otak yang didahului oleh infeksi. Penyakit ini merupakan penyakit dimana
sistem imunitas tubuh menyerang sel saraf. Kelumpuhan dimulai pada bagian distal
ekstremitas bawah dan dapat naik ke arah kranial (Ascending Paralysis).
2.2 ETIOLOGI
Teori yang berlaku sekarang
menganggap GBS, merupakan suatu npenyakit autoimun oleh karena adanya antibody
antimyelin yang biasannya didahului dengan faktor pencetus. Sedangkan
etiologinya sendiri yang pasti belum diketahui, diduga oleh karena :
a.
Infeksi : missal radang
tenggorokan atau radang lainnya
b.
Infeksi virus :measles,
Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster, Infections mono
nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)
c.
Vaksin : rabies, swine
flu
d.
Infeksi yang lain :
Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis, campylobacter jejuni
e.
Keganasan:Hodgkin’sdisease,carcinom,lymphoma
Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan campylobacter jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebi9h berat. Hal ini dikarenakan strujtur biokimia dinding bakteri ini mempunyaipersamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibodyyang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin.
Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan campylobacter jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebi9h berat. Hal ini dikarenakan strujtur biokimia dinding bakteri ini mempunyaipersamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibodyyang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin.
Pada
dasarnyaguillain barre adalah “self Limited” atau bisa timbuh dengan
sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang
meluas sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat Bantu
nafasnya.
2.3 PATOFISIOLOGI
Gullain
Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun lewat mekanisme
limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated
demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya
terhadapantigen. Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf
perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin
terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi.
2.4 PNP
2.5 TANDA DAN GEJALA
(MANIFESTASI KLINIS)
a.
Manifestasi motorik :
·
Kelemahan otot secara ascending
(dari distal ke proksimal) flaccid parolysis tanpa atropi otot
·
Penurunan atau tidak adanya reflek
tendon dalam
·
Gangguan pernapasan (dyspnea,
penurunan suara napas)
b.
Manifestasi sensori :
·
Paresthesis (kesemutan)
·
Nyeri (cramping)
·
Manifestasi pada syaraf kronialis :
·
Kelemahan otot muka
·
Disphagia
·
Diplopia
c.
Manifestasi pada syaraf otonom :
·
Tekanan darah yang labil
·
Disritmia jantung
·
Takikardia
Pada umumnya
GBS tidak mempengaruhi tingkat kesadaran, fungsi serebral dan tanda gangguan
pada pupil.
2.6 INSIDEN
GBS
tersebar diseluruh dunia terutama di Negara – Negara berkembang dan merupakan
penyebab tersering dari paralysis akut. Insiden banyak dijumpai pada dewasa
muda dan bisa meningkat pada kelompok umur 45-64 tahun. Lebih sering dijumpai
pada laki – laki daripada perempuan.
Angka kejadian penyakit ini berkisar 1,6 sampai 1,9/100.000 penduduk per tahun lebih dari 50% kasus biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas atas. Selain yang disebutkan diatas penyakit ini dapat pula timbul oleh karena infeksi cytomegalovirus, epster-barr virus, enterovirus, mycoplasmadan dapat pula oleh post imunisasi . Akhir – akhir ini disebutkan bahwa campylobacter jejuni dapat menimbulkan GBS dengan manifestasi klinis lebih berat dari yang lain.
Guillain Bare syndrome termasuk dalam penyakit poliradikulo neuropati dan untuk membedakannya berdasarkan lama terjadinya penyakit dan progresifitas penyakit yaitu :
1. Guillain barre syndrome (GBS)
Fase progresif sampai 4 minggu
2. Subakut idiopathic polyradiculo neuropathy (SIDP)
• Fase progresif dari 4-8 minggu
• Gejala klinis :
a. Terutama motorik
b. Relative ringan tanpa : gagal pernapasan, gangguan otonomik yang jelas
• Neurofisiologi : demyelinisasi
• Biopsi : demyelinisasi ~ makrofag
3. Cronic inflammatory demyelinating polyradiculo neuropathy (CIDP)
• Fase progresif > 12 minggu
• Dibagi dalam 2 bentuk
a. Idiopathic CIDP (CIDP – 1)
b. CIDP MGUS (monoclonal gammopathy uncertain significance)
Angka kejadian penyakit ini berkisar 1,6 sampai 1,9/100.000 penduduk per tahun lebih dari 50% kasus biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas atas. Selain yang disebutkan diatas penyakit ini dapat pula timbul oleh karena infeksi cytomegalovirus, epster-barr virus, enterovirus, mycoplasmadan dapat pula oleh post imunisasi . Akhir – akhir ini disebutkan bahwa campylobacter jejuni dapat menimbulkan GBS dengan manifestasi klinis lebih berat dari yang lain.
Guillain Bare syndrome termasuk dalam penyakit poliradikulo neuropati dan untuk membedakannya berdasarkan lama terjadinya penyakit dan progresifitas penyakit yaitu :
1. Guillain barre syndrome (GBS)
Fase progresif sampai 4 minggu
2. Subakut idiopathic polyradiculo neuropathy (SIDP)
• Fase progresif dari 4-8 minggu
• Gejala klinis :
a. Terutama motorik
b. Relative ringan tanpa : gagal pernapasan, gangguan otonomik yang jelas
• Neurofisiologi : demyelinisasi
• Biopsi : demyelinisasi ~ makrofag
3. Cronic inflammatory demyelinating polyradiculo neuropathy (CIDP)
• Fase progresif > 12 minggu
• Dibagi dalam 2 bentuk
a. Idiopathic CIDP (CIDP – 1)
b. CIDP MGUS (monoclonal gammopathy uncertain significance)
2.7 KOMPLIKASI
i.
Gagal pernapasan, melemahnya otot
pernapasan membuat pasien beresiko tinggi terhadap hipoventilasi, dan infeksi
pernapasan berulang, disfagia juga dapat timbul mengarah pada aspirasi.
ii.
Penyimpangan pada kardiovaskuler
dapat mengakibatkan distritmia jantung atau perubahan drastis yang mengancam
kehidupan dalam tanda vital.
iii.
Plasma faresis infeksi mungkin
terjadi pada akses vaskuler, hipofolemia, dapat mengakibatkan hipotensi,
takikardia pening dan diaforesis.
iv.
Dekubitus
2.8 FASE PENYEMBUHAN
Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu
kali serangan yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan
untuk kemudian pulih kembali.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi
menjadi 3 fase:
- Fase progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
- Fase plateau. Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
- Fase penyembuhan Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
2.9 PENATALAKSANAAN
Ventilasi mekanis untuk kegagalan pernapasan
·
Fisiotherapi
dada dan penghisapan endotrakeal apabila kemampuan untuk batuk hilang dan
sekresi mulai terkumpul di paru-paru
·
Pemasangan
selang nasogastrik untuk pemberian makanan, bila pasien tidak dapat menelan
·
Analgesik
untuk mengatasi rasa nyeri, selama periode penyembuhan
·
Terapi fisik
untuk memulihkan kekuatan otot, dimulai bila px menunjukan tanda-tanda
pemulihan
·
Plasmaferesis
(pertukaran plasma untuk tujuan terapeutik)
·
Pemberian
penyekat-beta untuk mengatasi hipertensi
·
Pemantulan
EKG secara terus-menerus
·
Terapi
intravena untuk meningkatkan volume cairan dan memperbaiki hipotensi
2.10 DIAGNOSTIK TEST
·
Analisis
fungsi lumbal menunjukkan peningkatan protein CSS dan jumlah sel darah putih
rendah
·
Pemeriksaan
elektrofisiologis menunjukkan pelambatan velositas konduksi saraf, menunjukkan
demielinasi
·
Darah
lengkap : terlihat adanya leukositosis pada fase awal
·
Uji fungsi
pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga dapat ditetapkan nilai
dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan penyakit
·
Foto ronsen
: dapat memperlihatkan perkembangannya tanda-tanda dari gangguan pernapasan,
seperti atelektosis, pneumonia
·
Pemeriksaan
fungsi paru dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal,
dan kemampuan inspirasi
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a.
Identitas klien :
meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
b.
Keluhan utama :
kelumpuhan dan kelemahan
c.
Riwayat keperawatan :
sejak kapan, semakin memburuknya kondisi / kelumpuhan, upaya yang dilakukan
selama menderita penyakit.
d.
Pemeriksaan Fisik
Ø
B1 (Breathing)
Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.
Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.
Ø
B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.
Ø
B3 (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan.
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan.
Ø
B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
Ø
B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
3.2 Prioritas Diagnosa Keperawatan dan
Intervensi
1. Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan dan peningkatan
produksi sekret.
Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, sumbatan tidak terjadi
Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, sumbatan tidak terjadi
Kriteria hasil : Menunjukkan jalan
napas adequat dengan ditandai tanda-tanda syok tidak ada, TTV normal, dll.
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1. Monitor
TTV
|
- Adanya
perubahan perfusi jaringan otak dapat menyebabkan terjadinya perubahan
tanda-tanda vital : TD↓, RR↑
|
|
2. Tinggikan
posisi kepala di tempat tidur sesuai toleransi
|
- Meningkatnya
ekspansi paru dan memaksimalkan oksigenasi paru untuk kebutuhan seluler.
|
|
3. Awasi
upaya pernafasan, auskultasi bunyi nafas : perhatikan bunyi nafas
adventisius.
4. Selidiki
keluhan nyeri dada, palpitasi.
5. Catat
keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh hangat sesuai
dengan indikasi.
6. Ajarkan
untuk menghindari penggunaan bantalan penghangat/botol air panas.
7. Kolaborasikan
untuk pemberian PRC.Awasi ketat untuk komplikasi transfusi.
8. Berikan
oksigen tambahan sesuai indikasi
|
- Dispnea,
gemericik menunjukkan GJK karena regangan jantung lama/peningkatan kompensasi
curah jantung.
- Iskemia
seluler mempengaruhi jaringan mio kardal /potensial resiko inflan.
- Kenyaman
pasien/kebutuhan rasa hangat harus seimbang dengan kebutuhan untuk
menghindari panas berlebiha pencetus vasodilatasi.
- Termoreseptor
jaringan deral dangkal karena gangguan oksigen.
-Meningkatkan
jumlah sel pembawa oksigen:memperbaiki difisiensi untuk menurunkan resiko
perdarahan.
-Memaksimalkan
transport oksigen ke jaringan.
|
2)
Kebutuhan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kesulitan mengunyah, menelan,
kelelahan, paralisis ekstremitas.
Kriteria
Hasil : Intake makanan sesuai kebutuhan, tidak terjadi aspirasi saat makan, tidak
terjadi tanda-tanda kurang nutrisi, pasien toleran terhadap makanan
parenteral/personde, dengan residu minimal
|
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1
|
Kaji
kemampuan menelan dan mengunyah, fungsi motorik pada ektremitas.
|
-identifikasi
kemampuan makan pasien
|
|
2
|
Monitor
intake dan output nutrisi
|
-
menentukan adekuatnya kebutuhan
nutrisi pasien
|
|
3
|
Kaji tanda-tanda kurang gizi : anemis,
nilai albumin, Hb.
|
-
Mengawasi penurunan BB atau
efektifitas intervensi nutrisi
|
|
4
|
Observasi dan mencatat kejadian mual /
muntah, flatus dan gejala lain yang berhubungan
|
-
Gejala GI menunjukkan efek anemia
(Hipoksia) pada organ
|
|
5
|
Berikan dan bantu higiene mulut yang
baik
|
-
Meningkatkan nafsu makan dan pemasukan
oral, menurunkan pertumbuhan bakteri meminimalkan kemungkinan infeksi
|
|
6
|
Konsul pada Ahli Gizi
|
-
Membantu dalam membuat rencana diet
untuk memenuhi kebutuhan individual.
|
3) Intoleransi Aktivitasi b/d tidak
seimbangnya kebutuhan pemakaian dan supali oksigen (O2) serta adanya
kontaktur muskulosekeletal
Tujuan
: Intoleransi terhadap aktivitas akan teratasi
Kriteria
hasil : Menujukkan peningkatan toleransi aktivitas
|
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1
|
Kaji kemampuan
Px untuk melakukan tugas
|
- Mempengaruhi
pilihan intervensi / bantuan
|
|
2
|
Kaji
kehilangan / gangguan keseimbangan gaya jalan, kelemahan otot
|
- Menunjukkan
perubahan hemolegi karena defisiensi Vit B12 mempengaruhi keamanan
Px / resiko cidera
|
|
3
|
Monitor TTV
|
-
Manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah O2
adekuat ke jaringan
|
|
4
|
Ubah posisi Px
dengan perlahan dan pantau terhadap pusing
|
-Hipotensi postural / hipoksio serebral dapat
menyebabkan pusing, berdenyut dan peningkatan resiko cidera
|
|
5
|
Beri bantuan
dalam ambulasi
|
-Membantu meningkatkan harga diri ditingkatkan
bila pasien melakukan sesuatu sendiri
|
|
6
|
Mengajukan Px
untuk menghentikan aktivitas bila polipitas nyeri dada, nafas peridek
kelemahan atau pusing terjadi
|
-Regangan / stress kardiopulmonal berlebihan /
stress dapat menimbulkan dekonsasi / kegagalan.
|
4) Konstipasi
atau diare b/d kehilangan sensasi dan refleks anal (anal immobile)
Tujuan :
membuat kembali pola normal dari fungsi usus
Kriteria hasil : Mempertahankan pola elimanasi unsus
tanpa ileus
|
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1
|
Observasi,warna feses,konsistensi, frekwensi,dan
jumlah
|
Membantu mengidentifikasi penyebab/factor pemberat
dan intervensi yan tepat.
|
|
2
|
Awasi masukan dan haluaran dengan perhatian khusus
pada makanan/cairan
|
Dapat mengidentifikasi dehidrasi,kehilangan berlebihan/alat dalam
mengidentifikasi defisiensi diet.
|
|
3
|
Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit
2000ml/hari(tentunya jika pasien dapat menelan).
|
Dapat melembekkan feses dan memfasilitasi
eliminasi.
|
|
4
5
|
Hindari makanan yang membentuk gas
Konsul dengan ahli gizi untuk memberikan diet
seimbang dengan tinggi serat
|
Menurunkan distress gastric dan distensi abdomen.
Serat
menahan enzim pencernaan dan mengabsorpsi air dalam alirannya sepanjang
traktus intestinal.
|
|
6
|
Berikan obat
pelembek feses,stimulan ringan
|
Mencegah konstipasi, menurunkan distensi abdomen,
dan membantu dalam keteraturan fungsi defekasi.
|
|
7
|
Pasang selang NGT jika ada kebutuhan
|
Menurunkan mual dan muntah dan melakukan
dekompensasi pada distensi abdomen yang berhubungan dengan hilangnya
peristaltik, munculnya ileus paralitik.
|
5) Gangguan Integritas Kulit b/d dekubitus
berhubungan dengan kelemahan otot, paralisis, gangguan sensasi, perubahan
nutrisi, inkontenensia.
Tujuan : mempertahankan integritas kulit
Kriteria
Hasil : Warna kulit dalam ambang normal
dan tidak adanya luka dekubitus.
|
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1
|
Kaji integritas kulit,catat perubahan pada turgor, gangguan warna,hangat
local,eritema,ekskoriasi
|
-Kondisi
kulit dipengaruhi oleh sirkulasi,nutrisidanimobilisasi.
|
|
2
|
Ubah posisi secara periodic dan pijat permukaan tulang bila pasien tidak
bergerak atau di tempat tidur
|
-Meningkatkan
sirkulasi ke semua area kulit membatasi iskemia/atau mempengaruhi hipoksia
seluler.
|
|
3
|
Bantu bererak pasif atau aktif
|
-Meningkatkan
sirkulasi jaringan, mencegah stasis.
|
|
4
|
Ajarkan permukaan kulit kering dan bersih.Batasi
pengunaan sabun
|
-Sabun dapat
mengeringkan kuliat secara berlebihan dan mengakibatkan iritasi.
|
|
5
|
Gunakan alat pelindung, mis. Kasur tekanan
udara/air.
|
-Menghindari kerusakan
kulit dengan mencegah/menurunkan tekanan terhadap permukaan kulit.
|
6) Nyeri
(akut) b/d Kerusakan neuromuskular (parestesia)
Tujuan : nyeri hilang/terkontrol
Kriteria hasil : Melaporkan nyeri/ketidaknyamanan
hilang
|
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1
2
3
4
5
|
Selidiki keluhan nyeri
Awasi tanda verbal, pantau petunjuk non verbal, mis; tegangan otot
gelisah
Berikan lingkungan tenang dan kurangi rangsangan penuh stress
Tempatkan pada posisi nyaman dan sokong sendi, dan ekstrimitas dengan
bantal/bantalan
Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat analgesik.
|
Membantu
mengkaji kebutuhan untuk intervensi
Dapat
membantu mengevaluasi pernyataan verbal dan keefektifan intervensi.
Meningkatkan
istirahat dan meningkatkan kemampuan koping.
Dapat
menurunkan ketidak nyamanan tulang/sendi.
Menurunkan
tegangan otot dan kontrol nyeri adekuat.
|
7) Defisit Pengetahuan b/d penyakit,
pengobatan, prognosis dan perawatannya.
Tujuan
: keluarga mengerti dan
memahami
Kriteria
Hasil : - Memulai perilaku yang diperlukan / perubahan
gaya hidup untuk mencegah komplikasi.
- Orang tua dan pasien dapat mengetahui tentang
penyakit anaknya tanda dan pengobatan
- Orang tua dapat
kooperatif dan mampu merawat anak dirumah
|
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1
|
Berikan
informasi tentang penyakit pasien.
|
- Memberikan dasar pengetahuan
sehingga pasien dapat membuat pilihan yang tepat.
|
|
2
|
Diskusikan
pentinganya menjalani terapi pengobatan.
|
- Menurunkan ansietas dan dapat
meningkatkan kerjasama dalam program terapi.
|
|
3
|
Mendorong
latihan ROM dan
aktivitas fisik teratur dengan keseimbangan
antara istirahat dan aktivitas.
|
- Mencegah demineralisasi tulang dan dapat
mengurangi risiko patah tulang. Aids dalam mempertahankan tingkat resistensi
dan mengurangi kebutuhan oksigen.
|
|
4
|
Beritahu pasien serta
keluarga untuk menghidari faktor pencetus penyakitnya.
|
- Screening saraf perlu ditingkat
untuk menghindari faktor pencetus.
|
|
5
|
Kolaborasi dengan
psikolog untuk membantu mengeluarkan/dapat mengekspresikan perasaan pasien.
|
- Berbagi perasaan kepada orang
terdekat mampu meminimalisir stress serta beban pikiran.
|
8)Gangguan
Pola Napas berhubungan dengan Kelemahan otot pernapasan atau paralisis,
berkurangnya refleks batuk, immobilisasi.
Tujuan
: Membuat / mempertahankan pola pernafasan efektif melalui ventilator
Kriteria
Hasil : Tidak terdapat sianosis , Saturasi oksigen dalam rentang normal
|
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1
|
Selidiki
Etiologi gagal pernapasan
|
-Pemahaman
penyebab masalah pernapasan penting untuk perawatan pasien
|
|
2
|
Observasi
pola napas. Catat frekuensi pernapasan , jarak antara pernafasan spontan dan
napas ventilator
|
-
Pasien pada ventilator dapat mengalami
hiperventilasi /hipoventilasi , dispnea / lapar udara dan berupaya
memperbaiki kekurangan dengan bernapas berlebihan
|
|
3
|
Auskultasi
dada secara periodik catat adanya / tak adanya dan kualitas bunyi napas ,
bunyi napas tambahan , juga simetrisitas gerakan dada
|
-Memberikan
informasi tentang aliran udara melalui trakeobronkial dan adanya /tidak
adanya cairan
|
|
4
|
Periksa
selang terhadap obstruksi . Contoh terlipat atau akumulasi air . Alirkan
selang sesuai indikasi , hindari aliran ke pasien atau kembali kedalam wadah
|
-
Lipatan selang mencegah penerimaan
volume adekuat dan meningkatkan tekanan jalan napas . Air mencegah distribusi
gas dan pencetus pertumbuhan bakteri
|
|
5
|
Periksa
fungsi alaram Ventilator, Jangan matikan alaram , meskipun untuk penghisapan,
Yakinkan bahwa alaram terdengar ke kantor perawat
|
-Sangat
penting apabila terdapat tanda- tanda distres pernafasan atau henti napas
|
|
6
|
Kolaborasikan dengan dokter untuk
pemantauan terhadap GDA, oksimetri nadi secara teratur
|
-
Menentukkan keefektifan dari ventilasi
sekarang dan kebutuhan untuk/keefektifan dari intervensi.
|
9)Gangguan
Perfusi Jaringan b/d Hipovolemia
Tujuan : Gangguan perfusi jaringan pada pasien
berkurang bahkan tidak ada.
Kriteria
Hasil : Mempertahankan perfusi dengan
TTV stabil, disritmia jantung terkontrol bahkan tidak ada.
|
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1
|
Observasi
TTV dan catat
|
-
Adanya perubahan perfusi jaringan otak dapat menyebabkan terjadinya perubahan
tanda-tanda vital : TD↓, RR↑
|
|
2
|
Ukur
TD, catat adanya fluktuasi. Observasi adanya hipotensi postural.
|
- Perubahan
pada TD (hipertensi/hipotensi)terjadi sebagai akibat dari kehilangan alur
dari saraf simpatis untuk mempertahankan tonus vaskular perifer.
|
|
3
|
Pantau
frekuensi jantung dan iramanya dan catat.
|
-Sinus
takikardi/brakikardi dapat berkembang sebgai akibat dari gangguan saraf
autonom simpatis/tidak adanya hambatan terhadap refleks vagal yang
menyebabkan henti jantung.
|
|
4
|
Tinggikan
sedikit kaki tempat tidur. Berikan latihan pasif pada lutut/kaki.
|
-
Kehilangan tonus vaskular dan vena
yang statis meningkatkan risiko terbentuknya formasi trombus.
|
|
5
|
Kolaborasikan
dengan dokter untuk pemberian cairan IV dan heparin sesuai indikasi
|
-Mungkin diperlukan untuk mencegah
hipovolemi/hipotensi dengan hati-hati sebab pasien dengan gangguan tonus
vaskuler mungkin sensitif adanya peningkatan sirkulasi.Heparin diggunakan
menurunkan risiko tromboflebitis.
|
10)Kebutuhan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mengunyah,
menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas.
Tujuan
: Kebutuhan nutrisi tubuh terpenuhi.
Kriteria
Hasil : Menunjukkan BB naik, tidak terjadi malnutrisi, intake makanan
sesuai kebutuhan, tidak terjadi aspirasi saat makan, pasien toleran terhadap
makanan parenteral/personde, dengan residu minimal
|
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1
|
Kaji
kemampuan menelan dan mengunyah, fungsi motorik pada ektremitas
|
-Kelemahan
otot dan refleks yang hipoaktif dapat mengidentifikasi kebutuhan akan metode
makan alternatif seperti melaluiselang NG dsb.
|
|
2
|
Auskultasi
bising usus.evaluasi adanya distensi abdomen.
|
-
Perubahan fungsi lambung sering
terjadi sebagai aibat dari paralisis/imobilisasi.
|
|
3
|
Catat
masukan kalori setiap hari
|
-Mengidentifikasi
kekurangan makanan dan kebutuhan.
|
|
4
|
Tanyakan
makan yang disukai oleh pasien
|
- Meningkatkan
rasa kontrol dan mungkin dapat meningkatkan usahu untuk makan.
|
|
5
|
Anjurkan
untuk makan sendiri jika memungkinkan.
|
-Derajat
hilangnya kontrol motorik mempengaruhi kemampuan untuk makan sendiri.
|
|
6
|
Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk
pemberian diet tinggi kalori/protein nabati.
|
-
Makanan suplementasi dapat
meningkatkan pemasukan nutrisi.
|
11)Kerusakan
Mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
Tujuan : Untuk mempertahankan posisi fungsi dengan tak
ada komplikasi ( kontraktur , dekubitus )
Kriteria
Hasil : Klien dapat meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang sakit,
mendemostrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan kembali aktivitas
yang diinginkan.
|
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1
|
Kaji
kekuatan motorik / kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5.
|
-
Menentukan perkembangan/ munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya
tujuan / harapan pasien
|
|
2
|
Berikan
posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman . Lakukan perubahan posisi dengan
jadwal yang teratur sesuai kebutuhan secara individual
|
-
Menurunkan kelelahan , meningkatkan
relaksasi . Menurunkan resiko terjadinya iskemia / kerusakan pada kulit
|
|
3
|
Sokong
ekstrimitas dan persendian dengan bantal
|
-
Mempertahankan ekstrimitas dalam posisi fisiologis , mencegah kontraktur.
|
|
4
|
Anjurkan
untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada toleransi
secara individual
|
- Kegiatan
latihan pada bagian tubuh yang terkena yang ditingkatkan secara bertahap /
terprogram , meningkatkan fungsi organ secara normal dan memiliki efek
psikologis yang positif
|
|
5
|
Konfirmasikan
dengan / rujuk kebagian terapi fisik / terapi okupasi
|
-
Bermanfaat dalam menciptakan kekuatan otot secara individual /latihan
terkondisi dan program latihan berjalan dan mengidentifikasi alat bantu untuk
mempertahankan mobilisasi dan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-
hari.
|
12)
Gangguan Eliminasi Urinaria b/d kehilangan sensasi dan refleks sfingter.
Tujuan : Tidak
ada keluhan terhadap eliminasi urine.
Kriteria
Hasil : Dapat mengeliminasikan urine
tanpa keluhan, menunjukkan konsistensi urine yang normal.
|
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1
|
Catat
frekuensi dan jumlah berkemih
|
-
Memberikan informasi selama pengkajian dari fungsi kandung kemih.
|
|
2
|
Lakukan
palpasi abdomen untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih
|
-
Jika refleks sfingter tidak ada,
kandung kemih akan penuh dan selanjutnya akan menjadi distensi.
|
|
3
|
Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit
2000ml/hari
|
-
Mempertahankan laju filtrasi glomerulus dan menurunkan risiko infeksi dan
pembentukan batu pada saluran perkemihan.
|
|
4
|
Lakukan
kateterisasi pada residu urine sesuai kebutuhan
|
- Memantau
keefektifan dari pengobatan kandung kemih.
|
13) Ansietas b/d
Ancaman kematian/perubahan dalam status kesehatan
Tujuan : Ansietas pada pasien berkurang bahkan tak
dirasa lagi
Kriteria Hasil : Mendemonstrasikan rentang perasaan yang
tepat dan berkurangnya rasa takut, wajah pasien tampak rileks.
|
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1
|
Tempatkan
pasien dekat ruang perawat, periksa secara teratur.
|
-memberikan
keyakinan bahwa bantuan segera dapat diberikan jika pasien secara tiba-tiba
menjadi tidak memiliki kemampuan.
|
|
2
|
Berikan
perawatan prmer/hubungan staf perawat yang konsisten
|
-
Meningkatkan saling percaya pasien dan
membantu untuk menurunkan kecemasan.
|
|
3
|
Berikan
bentuk komunikasi alternatif jika diperlukan
|
-Menurunkan
perasaan tidak berdaya dan perasaan terisolasi.
|
|
4
|
Berikan penjelasan singkat tentang perawatan,
rencana perawatan dengan pasien termasuk orang terdekat.
|
-
Pemahaman yang baik dapat meningkatkan
kerjasa pasien.
|
3.4
Discharge Planning
a. Aktivitas
Ø Ingatkan
pasien untuk mengubah posisi dengan perlahan untuk meminimalkan perubahan TD
ortostatik.
Ø Bantu
keluarga mengidentifikasi lembaga komunitas setempat yang dapat membantu
kegiatan positif pasien. Dan tekankan perlunya rujukan atau kontrol kesehatan
ke rumah sakit secara teratur.
Ø Implementasikan
tindakan keselamatan, seperti memasang pagar tempat tidur dan pegangan tangan,
meninggikan dudukan toilet.
Ø Dorong
partisipasi maksimal pasien dalam aktivitas perawatan diri.
b. Diet
Ø Berikan
diet TKTP, reguler/ lunak sesuai toleransi.
Ø Anjurkan
kepada keluarga pasien untuk menimbang BB tiap minggu.
c. Informasi
umum
Ø Dorong
ekpresi emosi tentang ansietas, frustasi, dan rasa takut.
Ø Pertahankan
fokus pada fungsi tubuh yang masih ada.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
GBS
tersebar diseluruh dunia terutama di Negara – Negara berkembang dan merupakan
penyebab tersering dari paralysis akut. Insiden banyak dijumpai pada dewasa
muda dan bisa meningkat pada kelompok umur 45-64 tahun. Lebih sering dijumpai
pada laki – laki daripada perempuan.
GBS menyerang pasa persarafan perifer. Di halaman sebelumnya kami juga menyantumkan asuhan-asuhan keperawatan apa saja yang perlu kita laksanakan untuk membantu pasien dengan GBS.
GBS menyerang pasa persarafan perifer. Di halaman sebelumnya kami juga menyantumkan asuhan-asuhan keperawatan apa saja yang perlu kita laksanakan untuk membantu pasien dengan GBS.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. 2000.Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta:EGC.
Dorland.1998.Kamus Saku Kedokteran. Jakarta : EGC.
Price, Sylvia A. Dan Lorraine M.
Wilson.1995.Patofisiologi.Jakarta:EGC.
Sudoyo, Aru W.dkk.Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta Pusat:Internal Publishing.
T. Heather H.2011.Nanda Internasional Diagnosa Keperawatan 2009-2011. Jakarta:EGC.
Tucker, Susan Martin.dkk..2008.Standart Perawatan Pasien edisi 7
Vol.2. Jakarta:EGC.
Wilkinson, Judith M.dkk.2007.Buku Saku Diagnosa Keperawatan.Jakarta:EGC.
_____________________.2012. Buku Saku
Diagnosa Keperawatan. Jakarta:EGC.
Komentar
Posting Komentar